Jumat, 25 Mei 2012

Filsafat Sejarah Spekulatif






Pengertian dari Filsafat Sejarah Spekulatif adalah mencari struktur terdalam yang terkandung dalam proses sejarah secara keseluruhannya, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa filsafat sejarah spekulatif adalah filsafat sejarah yang berkaitan dengan suatu perenungan filsafati mengenai tabiat atau sifat-sifat proses sejarah. Perbedaan antara filsafat sejarah spekulatif dengan filsafat sejarah kritis dapat dilihat dari pertanyaan yang muncul ketika sedang membahas mengenai filsafat sejarah spekulatif ini, yaitu:
a)      Irama atau pola macam apakah yang dapat diamati dalam proses sejarah?
b)      Manakah “motor” yang menggerakkan proses sejarah?
c)      Apakah sasaran terakhir yang dituju oleh proses sejarah?
Dalam mempelajari filsafat sejarah spekulatif tidak hanya membicarakan mengenai kejadian sejarah yang terjadi sampai saat ini melainkan juga membicarakan mengenai prediksi tentang sejarah yang akan terjadi (prediksi), dalam hal ini pemikiran orang barat mengenai filsafat yang berkembang pada abad pertengahan banyak di ilhami oleh orang-orang kristen yang kemudian menarik dunia untuk mempelajari filsafat, walaupun telah kita ketahui bahwa pemikiran orang barat tersebut mendapat ilham dari dunia timur seperti Mesir, dan sebagainya. Dalam abad pertengahan tersebut ada seorang tokoh filsuf spekulatif, Santo Augustinus (354-435) yang membagi sejarah dengan dua periodisasi yang berlandaskan Injil yaitu Civitas Dei (Kerajaan Tuhan) dan  Civitas Terrena (Kerajaan Dunia).
Dalam buku yang ditulis oleh Muhammad Hadi Sundoro ini membagi ruang lingkup materi Filsafat Sejarah Spekulatif menjadi:
a)      Pengetahuan Aposteriori dan Apriori;
Pengetahuan manusia yang dapat diandalkan memiliki dua sumber, sumber yang pertama adalah pengetahuan yang berdasarkan pengetahuan (inderawi), dan yang kedua adalah pengetahuan yang berdasarkan pada pengalaman dan pengamatan terhadap kenyataan (pengetahuan Aposteriori). Namun disisi lain ternyata ada sumber pengetahuan manusia yang dapat diandalkan yaitu pengerahuan Apriori, yaitu pengetahuan yang diperoleh dari perenungan atau mengkombinasikan pengetahuan dan pengertian yang telah tersedia tanpa harus langsung mengamati kenyataan lagi. Sehingga dalam masalah ilmu biasa, manusia sering menggunakan pengetahuan Aposteriori. Sedangkan dalam ilmu eksakta, manusia cenderung menggunakan pengetahuan Apriori.
Contoh dari pengetahuan Aposteriori adalah teori evolusi yang dikemukakan oleh darwin dalam karangannya yang berjudul On The Origin of Species (1859), dalam hal ini diartikan bahwa pengetahuan Aposteriori mengandung unsur pretensi yaitu seluruhnya didasarkan pada pengalaman / pengetahuan masa silam. Sedangkan untuk contoh pengetahuan Apriori adalah teori yang dikemukakan oleh Immanuel Kant (1724-1804) bahwa pemikiran manusia dibentuk oleh unsur pengalaman dan akal manusia, sehingga Kant memiliki pemikiran bahwa semua pengalaman dapat dijadikan dasar dalam berfikir karena Kant membagi pengalaman menjadi dua, yaitu pengalaman murni dan pengalaman yang tidak murni (kebenarannya tidak dapat dipastikan).
b)      Motor penggerak dalam sejarah;

Jiwa Besar
 
Urutan secara Kronologis merupakan pokok teori untuk menggambarkan gerak sejarah, dalam hal ini terdapat beberapa ahli yang membahas mengenai teori gerak sejarah yaitu: R.F. Beerling, Moh. Ali, dan George Novack. Dari ketiga ahli tersebut memang terdapat perbedaan pendapat, hal ini dikarenakan latar belakang pandangan hidup yang berbeda-beda. R.F. Beerling berpendapat bahwa teori gerak sejarah masyarakat primitif ditentukan oleh evolusi kebudayaan dinamisme dan animisme, sedangkan Moh. Ali mengatakan dalam karyanya yang berjudul Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia (1983) bahwa 




           
Sedangkan George Novack berpendapat bahwa motor penggerak sejarah terdapat lima teori yaitu:
1)      The Great God Theory (Tuhan/Dewa adalah sumber penggerak segala peristiwa);
2)      The Great Men Theory (orang besar/utusan Tuhan/jiwa besar adalah penggerak sejarah melalui wahyu Tuhan);
3)      The Great Mind Theory (kekuatan idela, angan-angan, dan cita-cita adalah penggerak sejarah);
4)      The Best People Theory (rakyat atau bangsa terpilih seperti Mesir, Yunani, Yahudi adalah penggerak utama roda sejarah);
5)      The Human Nature Theory (Human Nature/manusia dan lingkungan adalah penggerak sejarah).
c)      Aliran pandangan filsafat sejarah;
Terdapat tiga aliran dalam filsafat sejarah spekulatif:
1)      Gerak sejarah siklus (melingkar)
Herodotus sebagai salah satu tokoh filsafat pada Zaman Yunani Klasik telah mencoba untuk menyusun gagasan spekulatif mengenai gerak sejarah, dalam pemikirannya Herodotus mengatakan bahwa kehidupan itu sama seperti roda yang berputar. Terkadang diatas dan terkadang berada dibawah, konsep/teori ini di latar belakangi oleh pemikiran kosmos sentris. Pemikiran Herodotus ini adalah bentuk perkembangan pemikiran pada saat zaman Yunani Klasik, karena sebelum Herodotus sudah ada pemikir yang terlebih dahulu menggagas gerak siklus ini. Seperti Plato dan Aristoteles, namun dalam gerak siklus ini Aristoteles tidak terlalu menekankan mengenai gerak sejarah siklus ini karena Aristoteles hanya mengatakan bahwa sebuah suatu rezim/kepemimpinan yang tentu akan berganti. Sementara itu pemikiran pada Zaman Yunani Klasik mengatakan bahwa sejarah tidak bersifat profan, sekuler, tetapi sejarah bersifat siklus, sehingga dapat disimpulkan bahwa pemikiran bangsa Yunani Klasik adalah manusia harus tunduk terhadap nasib. Menurut George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831), para tokoh pemikir Zaman Yunani Klasik adalah sejarawan asli, karena para tokoh pemikir pada saat ini menghasilkan pemikiran yang banyak digunakan oleh sejarawan modern.
2)      Gerak Sejarah Linier atau Garis Lurus.
Berbeda dengan gerak sejarah siklus, dalam gerak sejarah linier berpendapat bahwa sejarah adalah suatu peristiwa yang bermula dari suatu titik permulaan menuju suatu titik akhir yang menjadi tujuannya. Dalam gerak sejarah ini juga berpendapat bahwa Tuhan ataupun nasib adalah satu-satunya yang dapat membentuk sejarah. Tuhan, fatum (nasib), dan Dewa hanya dianggap sebagai perantara dari sebuah kejadian sejarah. Pemikiran ini muncul pada Abad Pertengahan, tokoh yang menggagas pemikiran ini adalah St Augustinus yang menyatakan bahwa sejarah merupakan sejarah keselamatan, mempunyai unsur sejarah profan sebagai suatu pertentangan universal antara Kerajaan Tuhan dan Kerajaan Dunia. Selain St Augustinus, terdapat tokoh lain yaitu Ibn Chaldun (1332-1406) yang juga menggagas konsep gerak sejarah linier. Walaupun diantara keduanya memiliki gagasan yang sama, bukan berarti dari keduanya tidak memiliki perbedaan, karena seperti yang telah diterangkan bahwa latar belakang pandangan hidup menjadi hal yang sangat penting bagi seseorang untuk mengemukakan pandangannya. Berbeda dengan St Augustinus yang mengatakan bahwa manusia hanya bisa pasrah karena semuanya telah diatur oleh Tuhan atau takdir, Ibn Chaldun beranggapan bahwa manusia harus berusaha untuk merubah nasibnya sendiri demikian pula masyarakatnya.
3)      Gerak Sejarah Spiral
Gerak sejarah linier mulai ditinggalkan oleh masyarakat pada akhir abad ke-19 ketika muncul gerakan Romantisisme di Jerman yang dipelopori oleh Karl Max, dengan pemikirannya yang membuat manusia merasa terasing akan dirinya dan fikirannya. Seorang tokoh yang menggagas tentang gerak sejarah spiral ini adalah Giambattista Vico yaitu seorang tokoh yang hidup pada masa transisi antara abad Pertengahan dan abad Modern. Dalam gerak sejarah spiral dikatakan bahwa akan ada pengulangan sejarah kembali, namun dalam kembalinya sejarah tersebut tidak sama sepenuhnya, sehingga disebutlah gerak sejarah spiral. Dalam pemikiran Vico sangat menentang pemikiran pada gerak sejarah linier, karena menurut Vico kerajaan Tuhan dan kerajaan Dunia yang diterangkan pada gerak sejarah linier. Vico juga membenarkan bahwa Kerajaan Dunia merupakan bagian dari Kerajaan Tuhan, namun perbedaannya yaitu pada Kerajaan Dunia yang disebutkan oleh St Augustinus yang mengatakan bahwa terjadinya sejarah karena adanya pertentangan antara kerajaan dunia dengan kerajaan Tuhan, sedangkan Vico mengatakan bahwa Kerajaan Dunia merupakan bagian/bawahan dari Kerajaan Tuhan.
d)      Kritik terhadap sistem-sistem spekulatif.
Pekerjaan seorang filsafat sejarah dengan ahli sejarah tentunya berbeda, akibat perbedaan ini terjadi saling kritik diantara pada filsuf sejarah dan para ahli sejarah. Para filsuf menuduh para ahli sejarah hanya mengumpulkan data dan mengumumkannya sebagai sebuah laporan belaka tanpa meneliti lebih lanjut mengenai apa yang sebenarnya terjadi dan tidak dapat menyusun sebuah sintesis, hal ini dicontohkan oleh seorang filsuf sejarah spekulatif abad 19 yaitu George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831),  yang mengkritik sejarawan Romawi hanya merangkai sejumlah ulasan sejarah dan tidak menghiraukan unsur kesatuan dalam proses sejarah. Namun para ahli sejarah mengkritik para filsuf sejarah yang meremehkan ditil-ditil sejarah dan tidak mampu menghadapi masa silam tanpa prasangka, selain itu para ahli sejarah kemudian mengungkapkan tiga kritikan terhadap para filsuf sejarah yaitu:
1)      Kebenaran Sistem Spekulatif Tidak Dapat Dipastikan
Sebenarnya bukan hanya ilmu sejarah yang kebenarannya tidak bersifat mutlak, hampir semua ilmu sosial kebenarannya tidak bersifat mutlak atau dapat dicapai namun sangat sulit. Hal ini dikarenakan kebenaran tersebut masih terus digali, sehingga jika ditemukan kebenaran baru yang lebih mendekati kebenaran yang mutlak, maka kebenaran yang ada pada kebenaran sebelumnya dianggap musnah. Sistem spekulatif tidak begitu saja dapat divonis benar atau salah, pasti atau tidak, dan lain sebagainya seperti yang dilakukan dalam penafsiran-penafsiran sejarah. Karena dalam filsafat sejarah spekulatif dapat diajukan alasan-alasan pro dan kontra, sehingga filsafat ini lebih kepada masalah pro ataukah kontra terhadap filsafat sejarah ini.
2)      Sistem Spekulatif bersifat Metafisis
Metafisika adalah salah satu cabang ilmu filsafat yang menjawab pertanyaan mengenai hakikat atau kenyataan, dalam menjelaskan sebuah kenyataan, metafisika tekadang membuktikan bahwa hal itu adalah benar, akan tetapi sebenarnya kebenaran sebuah sistem metafisika tidak dapat dipastikan. Namun menurut para filsuf, metafisik ini sangat penting bagi sejarah, karena untuk menentukan seberapa besar pengaruh orang terhadap kejadian tersebut ataupun bagaimana bila kejadian tersebut tidak terjadi, seorang sejarawan harus menggunakan sebuah metafisik. Dalam setiap ilmu berbicara mengenai kebenaran yang dapat di cek kebenarannya, namun tidak bagi filsafat sejarah spekulatif karena filsafat sejarah spekulatif sangat melekat sifat metafisik sehingga ini perlu dijadikan kritikan kepada filsafat sejarah spekulatif.
3)      Sistem-sistem Spekulatif tidak ilmiah
Gambaran awal yang kita dapat gambarkan mengenai pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang saling berkaitan secara sistematis dan disusun secara rapi, memiliki hukun yang bersifat universal. Selain itu pengetahuan ilmiah tidak dapat menerima spekulasi-spekulasi tentang sejarah, karena spekulasi itu masih tidak menentu dan tidak dapat dipastikan kebenarannya. Namun bagi para filsuf sejarah spekulatif, mereka yakin bahwa spekulasi-spekulasi sejarah dapat memberikan kepastian-kepastian yang obeyektif dengan cara mencari pola-pola dalam sejarah dan menjadi juru peremal mengenai masa depan. Seorang filsuf spekulatif, Popper, menyatakan bahwa melalui pretensi ilmiah dalam sistem-sistem spekulatif mereka seolah-olah dapat meramal masa depan dengan cara seperti yang telah dijelaskan. Kita juga tidak boleh melupakan unsur pada sejarah yang tidak sama dengan pengetahuan yang lain, misalanya unik, individual, tersendiri, yang lazimnya disebut idiographic.

Daftar Pustaka
Hadi Sundoro, Muhammad. 2009. Teka-Teki Sejarah: berbagai persoalan mengenai filsafat sejarah. Jember: Jember University Press.

2 komentar: