Setelah usaha para pemuda membawa
Soekarno Hatta ke Rengasdengklok, akhirnya membawa keberhasilan. 17 Agustus
1945, tepatnya di Jalan Pegangsaan Timur 56, akhirnya Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia diikrarkan didepan seluruh massa yang datang pada saat itu. Seluruh
pemuda juga mulai membagi tugas untuk melakukan kegiatan dalam proses penyiaran
berita Proklamasi, semua alat komunikasi yang ada akan di pergunakan untuk
maksud tersebut. Ribuan teks Proklamasi berhasil di cetak dengan reneo dan
segera disebarkan ke berbagai penjuru kota, peristiwa besar itu berlangsung
hanya selama kurang lebih satu jam dengan penuh kekhidmatan. Sekalipun sangat
sederhana, hal tersebut telah membawa perubahan besar yang luar biasa dalam
kehidupan bangsa Indonesia.
Berita Proklamasi yang telah
menyebar keseluruh Jakarta segera disebarkan keseluruh Indonesia. Pada pagi 17
Agustus itu juga, teks Proklamasi telah sampai ditangan Kepala Bagian Radio
Kantor Berita Domei, Waidan B.
Penelewen. Ia menerima teks itu dari Syahruddin, seorang wartawan Domei. Segera
setelah itu, ia memerintahkan F. Wuz, seorang Makronis supaya berita itu
disiarkan tiga kali berturut-turut. Setelah dua kali hal tersebut dilakukan
masuklah orang Jepang ke ruangan radio. Dengan marah orang Jepang itu meminta
agar penyiaran tersebut di hentikan. Akan tetapi, Waidan Penelewen tetap
memerintahkan F. Wuz untuk terus menyiarkannya. Berita ini kemudian diulangi
setiap setengah jam, hingga pukul 16.00 saat siaran berhenti. Akibatnya,
pimpinan tertinggi tentara Jepang di Jawa memerintahkan untuk meralat berita
tersebut dan menyatakannya sebagai kekeliruan. Senin 20 Agustus 1945 pemancar
radio tersebut disegel oleh Jepang dan para pegawainya dilarang masuk.
Meskipun kantor berita Domei
disegel, para pemuda tidak kehilangan akal. Mereka membuat pemancar baru dengan
bantuan beberapa orang teknisi radio, salah satunya adalah Sukarman, Sutamto,
Susilaharja, dan Suhandar. Alat-alat pemancar yang diambil dari kantor berita
Domei bagian demi bagian dibawa kerumah Waidan B. Penelewen, dan sebagian ke
Menteng 31. Maka dari itu terciptalah pemancar baru di Menteng 31, dengan kode
panggilan DJK 1. Dari sinilah berita Proklamasi disiarkan.
Proklamasi merupakan awal dari
perjalanan Sejarah bangsa Indonesia yang baru dimulai kembali, kesibukan para
pemimpin setelah itu adalah menyusun sebuah tatanan kehidupan kenegaraan. 18 Agustus 1945, merupakan rapat pertama PPKI
sesudah Proklamasi. Saat itu Soekarno-Hatta berencana untuk menambah sembilan
anggota baru, termasuk juga dari golongan pemuda. Akan tetapi, setelah
berlangsung perbincangan yang kurang memuaskan antara Hatta dan Chairul Saleh,
para pemuda meninggalkan tempat karena mereka masih menganggap bahwa PPKI
adalah aparat Jepang. Rapat diadakan di Pejambon digedung Departemen Luar
Negeri sekarang. Sebelum dimulainya rapat, Soekarno-Hatta meminta beberapa
anggota untuk membahas rancangan undang-undang dasar, yang dibuat 22 Juni 1945,
pada sidang ini tercantum tentang sebuah kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Hal tersebut yang nantinya akan
membuat penganut agama lain merasa terdiskriminasi.
Akhirnya Hatta-pun memimpin sidang
tersebut bersama tokoh-tokoh islam untuk membahas masalah yang cukup sensitif
itu. Banyak pro dan kontra dalam menanggapi hal tersebut, akhirnya dalam waktu
lima belas menit dicapai kesepakatan untuk mengganti tujuh kata tersebut dengan
“Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kesepakatan ini memperlancar pembicaraan dalam rapat
pleno PPKI, karena jika dibicarakan dalam rapat pleno maka akan dapat menelan
waktu yang lama dan berlarut-larut. Rapat pertama ini berlangsung dengan
lancar. Pembahasan rancangan pembukaan dan undang-undang dasar yang disiapkan BPUPKI, berhasil dibahas dalam
tempo kurang dari dua jam, dan akhirnya disepakati.
Sidang kedua dimulai pukul 13.15.
Pada awal sidang kedua ini Soekarno mengumumkan enam anggota baru PPKI, sebelum
meningkat ke acara baru yaitu pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Soekarno
ingin agar pasal III Aturan Peralihan disahkan. Otto Iskandar Dinata
mengusulkan agar pemilihan tersebut dilakukan secara aklamasi. Akhirnya ia
mengajukan dua calon sebagai Presiden dan Wakil Presiden yaitu Soekarno-Hatta,
semua yang hadir menerima dengan aklamasi dan menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Setelah itu sidang meneruskan acara
membahas pasal-pasal rancangan Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan. Presiden
Soekarno menutup acara tersebut dan menyatakan UUD serta peraturan peralihan
telah sah ditetapkan. Akhirnya 18 Agustus 1945 Indonesia memiliki landasan
kehidupan bernegara yaitu sebuah UUD ’45. Sebelum rapat pertama PPKI ditutup,
Soekarno menunjuk sembilan orang yang dikenal dengan Panitia Kecil yang
bertugas menyusun rancangan untuk menggatasi hal-hal yang bersifat mendesak,
yakni pembagian wilayah negara, kepolisian, tentara kebangsaan, dan
perekonomian.
19 Agustus 1945 rapat PPKI
dilanjutkan kembali dengan agenda membahas hasil kerja Panitia Kecil, hasil
Panitia Kecil tersebut menghasilkan keputusan:
1. Pembagian
wilayah, yang dibagi menjadi 8 Provinsi beserta calon Gubernurnya;
2. Adanya
Komite Nasional (daerah).
Dalam
kabinet yang terbentuk 4 September 1945, Menteri Negara bukan hanya satu tetapi
lima orang. Pembahasan mengenai departemen akhirnya ditunda, yang kemudian
Presiden kembali membahas tentang tentara kebangsaan. Panitia Kecil mengajukan
dua usul, pertama menolak rencara
pembelaan negara oleh BPUPKI karena dianggap rencana tersebut mengandung
politik perang. Yang menyebutkan tentara Indonesia akan dibentuk bekerjasama
dengan Jepang yang dikukuhkan dalam perjanjian dan perlunya mengumumkan perang
terhadap sekutu. 16 Juli 1945 BPUPKI menyetujui rencana tersebut. Kedua, membubarkan peta di Jawa-Bali,
serta Laskar Rakyat di Sumatra karena dianggap kesatuan militer ini adalah
bentukan Jepang. Sebagai gantinya diusulkan untuk membentuk sebuah tentara
kebangsaan, usul tersebut diterima secara aklamasi oleh sidang.
Pembicaraan lainnya ialah tentang
perlunya ketentraman dan segera dimulainya perjuangan. Setelah rapat selesai,
sebelum Presiden dan Wakilnya pulang, ia meminta para pemuda untuk hadir pada
rapat yang diadakan di Jalan Prapatan 10. Pada rapat ini diharapkan agar
Soekarno-Hatta melakukan perebutan kekuasaan terhadap Jepang dengan segera,
tetapi Presiden menganggap hal tersebut tidak dapat dilakukan dengan
tergesa-gesa. Kemudian Adam Malik selaku pimpinan rapat membacakan Dekrit
tentang lahirnya TRI yang berasal dari bekas PETA, hal tersebut disetujui oleh
Soekarno-Hatta dan akhirnya rapatpun ditutup tanpa ada keputusan resmi tentang
usul para pemuda.
19 Agustus 1945, malam itu membahas
siapa yang diangkat menjadi anggota KNIP. Disepakati anggota KNIP berjumlah 60
orang. Dengan rapat pertama yang direncanakan tanggal 29 Agustus 1945 malam,
rapat PPKI dilanjutkan tanggal 22 Agustus 1945. Yang memutuskan pembentukan
Komite Nasional, Partai Nasional Indonesia, dan Badan Keamanan Rayat. Tujuan
Komite antara lain mempersatukan semua lapisan dan bidang pekerjaan agar
tercapai solidaritas dan kesatuan nasional yang erat dan utuh, membantu
menentramkan rakyat dan melindungi keamanan serta membantu para pemimpin
mewujudkan cita-cita bangsa. Pembentukan KNI Pusat yang dikenal dengan KNIP
resmi pada tanggal 29 Agustus 1945 dengan anggota 137 orang yang diketuai oleh
Mr. Kasman Singodimedjo, lahirnya KNIP mengakhiri tugas PPKI.
Pasal IV Aturan Peralihan UUD ’45,
disebutkan Komite Nasional adalah badan yang bertugas membantu Presiden
menjalankan kekuasaan MPR, DPR, dan DPA sebelum lembaga tersebut terbentuk. 7
Oktober 1945 kelompok pemuda dalam KNIP mengajukan petisi pada Presiden
Soekarno yang ditanda tangani oleh 50 orang agar KNIP diberi wewenang
legislatif, akhirnya 16 Oktober 1945 Wakil Presiden mengeluarkan maklumat No X
yaitu KNIP diberi kekuasaan legislatif sebelum MPR dan DPR terbentuk dan
menentukan GBHN. Keesokan harinya, atas desakan pemuda KNIP melangsungkan
pemilihan pimpinan baru, dengan Sutan Sjahrir sebagai ketuanya dan Amir
Sjarifuddin sebagai wakil. Setelah Sjahrir menjadi perdana menteri,
kedudukannya digantikan Mr. Assaat sampain akhir 1949. selama eksistensinya,
KNIP mengadakan lima kali sidang pleno. Sidang terpanas 25 Februari sampai 6
Maret 1947 di Malang berkaitan dengan penambahan jumlah anggota dalam rangka meratifikasi
persetujuan Linggarjati. Sidang terakhir KNIP 6-15 Desember 1949 dalam rangka
meratifikasi hasil KMB. Selama eksistensinya KNIP menghasilkan 113
undang-undang dan 32 peraturan.
suwun lek ..izin kopas
BalasHapus