Kamis, 24 Mei 2012

Peran Serta BKR dan TKR


            Sebuah korps pejuang bersenjata yang awalnya bertujuan untuk menjamin ketenteraman umum, pada mulanya merupakan bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang yang didirikan di Jakarta pada 20 Agustus 1945, yang bekerja dengan sukarela bersama-sama dengan rakyat dan pemerintah, sehingga dapat dikatakan kedudukannya sejajar dengan peranan suatu badan kesosialan. Berdirinya BKR secara resmi dinyatakan dalam pidato Presiden Sukarno tanggal 23 Agustus 1945. Dalam perjalanan sejarahnya BKR menjadi badan yang menduduki peranan yang penting dalam masyarakat. Orang-orang yang tergabung di dalamnya berasal dari bekas PETA, Heiho, Polisi, Seinendan, Keibodan, KNIL dan lain-lain.
BKR dimanfaatkan sebaik-baiknya sebagai wadah perjuangan rakyat Indonesia. Namun ternyata pembentukan BKR yang hanya bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum di daerah masing-masing mengundang rasa ketidakpuasan di kalangan pemuda. Mereka menghendaki dibentuknya tentara kebangsaan. Realisasi rasa tidak puas itu kemudian membentuk badan perjuangan atau laskar, anggotanya terdiri dari para pemuda yang tergabung dalam organisasi "bawah tanah" masa Jepang. Di Jakarta organisasi tersebut tergabung dalam Komite van Aksi, yang merupakan gabungan dari beberapa organisasi pemuda.
Setelah banyak hal-hal provoaktif bahkan agresif dari sekutu dan tentara Belanda, pemerintah RI pun mulai menyadari pentingnya sebuah kekuatan yang luas yaitu dalam bentuk tentara nasional. Kemudian untuk mempersatukan komando perjuangan, pemerintah mengeluarkan suatu maklumat tertanggal 5 Oktober 1945 tentang pembentukan Tentara Keamanan Rakyat(TKR), dan sejak itu BKR berubah menjadi TKR sedangkan markas besarnya berada di Yogyakarta. Pimpinan tertinggi TKR diberikan kepada Soepriyadi (kemudian digantikan kolonel Sudirman). Sedangkan Oeripsoemohardjo terpilih menjadi kepala staf TKR. pada tanggal 1 Januari 1946 diubah lagi mejadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Berubahnya TKR menjadi TRI ini diawali dari terpilihnya Soedirman sebagai panglima besar. Perubahan ini bukan hanya dalam Angkatan Darat tetapi juga dalam Angkatan Udara dan Angkatan Laut. Kepala staf TRI-AL dijabat oleh Laksamana Muda Moh. Nazir. Sedangkan Kepolisian Negara sejak awal kemerdekaan berada dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri. Tetapi sejak 1 Juli 1946 ditempatkan langsung dibawah Perdana Menteri sebagai jawatan tersendiri, dan R. Soekanto Tjokroadmodjo sebagai Kepala Kepolisian Negara yang pertama.
Untuk mempersatukan badan-badan perjuangan, maka pemerintah membentuk Biro Perjuangan yang berada dibawah Kementrian Pertahanan. Selanjutnya pada 5 Mei 1947 Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan Presiden yang intinya mempersatukan TRI dengan badan-badan perjuangan rakyat (badan-badan perjuangan nantinya disebut menjadi TRI). Kemudian pada tanggal 3 Juni 1946 pemerintah mempersatukan TRI-AD, TRI-AU, TRI-AL dan kepolisian menjadi Tentara Nasional Indonesia. Dengan terbentuknya TNI ini maka tidak ada yang namanya dualisme antara tentara reguler dan formasi-formasi irreguler, sehingga TNI merupakan satu wadah kesatuan bagi semua pejuang bersenjata. Mengapa TNI, hal ini karena nama TRI dianggap hanya sebutan untuk alat negara sedangkan TNI adalah alat untuk bangsa Indonesia.
                   II.            Peran BKR, TKR yang berwujud TNI pada Agresi Militer Belanda
Setelah gagalnya diplomasi, akhirnya Belanda membuka Agresi pertamanya pada 21 Juli 1947. Hal tersebut langsung mendapatkan respon dari berbagai pihak yaitu pemerintah Indian dan Australia, kedua negara ini meminta agar masalah Indonesia segera dibicarakan dalam acara rapat dewan keamanan. Akhirnya terbentuklah Komisi Tiga Negara (KTN) yang difungsikan untuk menjembatani antara Belanda dan Indonesia, saat inilah peran TNI yang merupakan wajah baru TKR mulai menjalankan tugasnya sebagai Tentara Nasional Indonesia. Meskipun akhirnya dalam waktu singkat Belanda dapat menerobos garis pertahanan TNI, hal ini sangat wajar terjadi mengingat kekuatan TNI yang dilihat dengan organisasi dan peralatannya masih tertinggal jauh dengan Belanda yang serba canggih.
            TNI sebagai badan pertahanan negara akhirnya dapat dilihat keberadaannya, selain menghadapi agresi militer pada 1947, TNI juga mendapat tugas yang dapat dibilang berat karena disamping bangsa Asing ternyata didalam negeri juga mulai timbul aksi-aksi dari beberapa golongan yaitu beberapa pemberontakan yang dilakukan oleh komunis yang pada saat itu legalitasnya diakui. Salah satu bentuk pemberontakan yaitu. Pertama, sejak masuknya Amir Syarifuddin sebagai Menteri Pertahanan. Ia melakukan banyak manipulasi dengan pepolit, Biro perjuangan dan TNI masyarakat. Hal tersebut ia lakukan dengan alasan untuk menjembatani antara tentara dan rakyat, akhirnya banyak yang menyoroti terutama PNI dan Masyumi apalagi tentang TNI bagian masyarakat yang ternyata merupakan organisasi politik sehingga banyak pihak yang mengingikan organisasi tersebut untuk dibubarkan.
            Kedua, setelah kabinet Amir Syarifuddin jatuh maka kabinet baru yang terbentuk adalah kabinet Hatta. Tetapi dalam kabinet inipun juga mendapat interfensi dari Amir Syarifuddin, yaitu dengan ditindakannya yang membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR). FDR ini menuntut agar kabinet kabinet dibubarkan dan diganti dengan kabinet Parlementer, akhirnya kabinet Hatta yang dibentuk pada 31 Januari 1948 ini akhirnya dapat bertahan. Ketiga, pemogokan yang dilakukan di Delangu dan beberapa kekacauan yang terjadi di Solo. Dalam hal ini mereka menyerang sektor perekonomian Indonesia dengan melakukan mogok kerja oleh (SOBSI) yang merupakan organisasi buruh, pada 23 Juni 1948 yang ternyata juga massa tersebut juga tergabung dalam FDR. Pada masa pembrontakan  ini banyak anggota TNI yang menjadi korban penculikan.
            Keempat, setelah pemberontakan di Solo yang tidak dapat ditangani secara maksimal oleh TNI, ternyata berlanjut. Yaitu pemberontakan yang dipimpin oleh Musso, salah seorang komunis yang telah lama tinggal Uni Sovyet. Banyak pasukan-pasukan tempur TNI yang ditempatkan dibeberapa titik di Madiun. Pemberontakan yang terjadi di Madiun pada 18 September 1948, menelan banyak korban terutama TNI. 19 September 1948 kabinet Hatta akhirnya memutuskan untuk menghadapinya dengan kekuatan senjata, mengingat peristiwa tersebut semakin memanas. Akhirnya, TNI dapat mengatasi hal tersebut dan pada 31 Oktober 1948, Musso tewas dalam baku tembak di desa Semanding, Somorota (Ponorogo).
               Karena konsentrasi TNI terpecah dengan adanya pemberontakan didalam negeri, pemerintah juga memikirkan kemungkinan serangan Belanda untuk kedua kalinya. Hal tersebut juga diperkuat pada pasca perundingan Renville, untuk itu Anggkatan Perang menyusun konsep pertahanan RI. Adapun konsep yang dianut adalah Pertahanan Rakyat Semesta, artinya pelaksanaan perang bukan semata-mata oleh Angkatan Perang atau oleh TNI saja melainkan seluruh rakyat dengan Angkatan Perang sebagai intinya. Dalam menghadapi kemungkinan Agresi Militer Belanda II, tugas TNI dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu :
1.      Pasukan Mobil, yang beertugas tempur dengan perbandingan senjata dan personal 1:1.
2.      Pasukan teritorial yang bertugas melaksanakan pembinaan teritorial dan perlawanan statis.
3.      Melaksanakan Wingate (menyusup) kedaerah kekuasaan musuh yang pernah ditinggalkan karena “hijrah”, untuk diisi dengan kekuatan grilya, untuk menciptakan kanting di daerah tersebut.
Dari sinilah dapat kita ketahui bahwa peran TNI yang merupakan evolusi dari BKR dan TKR sangat berperan penting dalam mempertahankan NKRI, hingga Agresi Militer Belanda II dapat ditangani dengan baik meskipun dalam prosesnya banyak terjadi kekalahan dan menelan banyak korban. Tetapi peran TNI patut untuk selalu kita ingat karena tanpa peran besar TNI, Indonesia mungkin tidak mampu untuk menghadapi serangan baik di dalam maupun di luar negeri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar