Sebuah korps pejuang bersenjata yang awalnya bertujuan untuk menjamin ketenteraman umum, pada mulanya merupakan bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang yang didirikan di Jakarta pada 20 Agustus 1945, yang bekerja dengan sukarela bersama-sama dengan rakyat dan pemerintah, sehingga dapat dikatakan kedudukannya sejajar dengan peranan suatu badan kesosialan. Berdirinya BKR secara resmi dinyatakan dalam pidato Presiden Sukarno tanggal 23 Agustus 1945. Dalam perjalanan sejarahnya BKR menjadi badan yang menduduki peranan yang penting dalam masyarakat. Orang-orang yang tergabung di dalamnya berasal dari bekas PETA, Heiho, Polisi, Seinendan, Keibodan, KNIL dan lain-lain.
BKR
dimanfaatkan sebaik-baiknya sebagai wadah perjuangan rakyat Indonesia. Namun
ternyata pembentukan BKR yang hanya bertugas memelihara keamanan dan ketertiban
umum di daerah masing-masing mengundang rasa ketidakpuasan di kalangan pemuda.
Mereka menghendaki dibentuknya tentara kebangsaan. Realisasi rasa tidak puas
itu kemudian membentuk badan perjuangan atau laskar, anggotanya terdiri dari
para pemuda yang tergabung dalam organisasi "bawah tanah" masa
Jepang. Di Jakarta organisasi tersebut tergabung dalam Komite van Aksi, yang merupakan
gabungan dari beberapa organisasi pemuda.
Setelah banyak hal-hal provoaktif bahkan agresif dari sekutu dan
tentara Belanda, pemerintah RI pun mulai menyadari pentingnya sebuah kekuatan
yang luas yaitu dalam bentuk tentara nasional. Kemudian untuk mempersatukan
komando perjuangan, pemerintah mengeluarkan suatu maklumat tertanggal 5 Oktober
1945 tentang pembentukan Tentara Keamanan Rakyat(TKR), dan sejak itu BKR
berubah menjadi TKR sedangkan markas besarnya berada di Yogyakarta. Pimpinan
tertinggi TKR diberikan kepada Soepriyadi (kemudian digantikan kolonel
Sudirman). Sedangkan Oeripsoemohardjo terpilih menjadi kepala staf TKR. pada
tanggal 1 Januari 1946 diubah lagi mejadi Tentara Republik Indonesia (TRI).
Berubahnya TKR menjadi TRI ini diawali dari terpilihnya Soedirman sebagai
panglima besar. Perubahan ini bukan hanya dalam Angkatan Darat tetapi juga
dalam Angkatan Udara dan Angkatan Laut. Kepala staf TRI-AL dijabat oleh
Laksamana Muda Moh. Nazir. Sedangkan Kepolisian Negara sejak awal kemerdekaan
berada dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri. Tetapi sejak 1 Juli 1946
ditempatkan langsung dibawah Perdana Menteri sebagai jawatan tersendiri, dan R.
Soekanto Tjokroadmodjo sebagai Kepala Kepolisian Negara yang pertama.
Untuk
mempersatukan badan-badan perjuangan, maka pemerintah membentuk Biro Perjuangan
yang berada dibawah Kementrian Pertahanan. Selanjutnya pada 5 Mei 1947 Presiden
Soekarno mengeluarkan Penetapan Presiden yang intinya mempersatukan TRI dengan
badan-badan perjuangan rakyat (badan-badan perjuangan nantinya disebut menjadi
TRI). Kemudian pada tanggal 3 Juni 1946 pemerintah mempersatukan TRI-AD,
TRI-AU, TRI-AL dan kepolisian menjadi Tentara Nasional Indonesia. Dengan
terbentuknya TNI ini maka tidak ada yang namanya dualisme antara tentara
reguler dan formasi-formasi irreguler, sehingga TNI merupakan satu wadah
kesatuan bagi semua pejuang bersenjata. Mengapa TNI, hal ini karena nama TRI
dianggap hanya sebutan untuk alat negara sedangkan TNI adalah alat untuk bangsa
Indonesia.
II.
Peran BKR, TKR yang berwujud TNI
pada Agresi Militer Belanda
Setelah
gagalnya diplomasi, akhirnya Belanda membuka Agresi pertamanya pada 21 Juli
1947. Hal tersebut langsung mendapatkan respon dari berbagai pihak yaitu
pemerintah Indian dan Australia, kedua negara ini meminta agar masalah
Indonesia segera dibicarakan dalam acara rapat dewan keamanan. Akhirnya
terbentuklah Komisi Tiga Negara (KTN) yang difungsikan untuk menjembatani
antara Belanda dan Indonesia, saat inilah peran TNI yang merupakan wajah baru
TKR mulai menjalankan tugasnya sebagai Tentara Nasional Indonesia. Meskipun
akhirnya dalam waktu singkat Belanda dapat menerobos garis pertahanan TNI, hal
ini sangat wajar terjadi mengingat kekuatan TNI yang dilihat dengan organisasi
dan peralatannya masih tertinggal jauh dengan Belanda yang serba canggih.
TNI sebagai badan pertahanan negara
akhirnya dapat dilihat keberadaannya, selain menghadapi agresi militer pada 1947,
TNI juga mendapat tugas yang dapat dibilang berat karena disamping bangsa Asing
ternyata didalam negeri juga mulai timbul aksi-aksi dari beberapa golongan
yaitu beberapa pemberontakan yang dilakukan oleh komunis yang pada saat itu
legalitasnya diakui. Salah satu bentuk pemberontakan yaitu. Pertama, sejak masuknya Amir Syarifuddin
sebagai Menteri Pertahanan. Ia melakukan banyak manipulasi dengan pepolit, Biro
perjuangan dan TNI masyarakat. Hal tersebut ia lakukan dengan alasan untuk
menjembatani antara tentara dan rakyat, akhirnya banyak yang menyoroti terutama
PNI dan Masyumi apalagi tentang TNI bagian masyarakat yang ternyata merupakan
organisasi politik sehingga banyak pihak yang mengingikan organisasi tersebut
untuk dibubarkan.
Kedua,
setelah kabinet Amir Syarifuddin jatuh maka kabinet baru yang terbentuk adalah
kabinet Hatta. Tetapi dalam kabinet inipun juga mendapat interfensi dari Amir
Syarifuddin, yaitu dengan ditindakannya yang membentuk Front Demokrasi Rakyat
(FDR). FDR ini menuntut agar kabinet kabinet dibubarkan dan diganti dengan
kabinet Parlementer, akhirnya kabinet Hatta yang dibentuk pada 31 Januari 1948
ini akhirnya dapat bertahan. Ketiga,
pemogokan yang dilakukan di Delangu dan beberapa kekacauan yang terjadi di
Solo. Dalam hal ini mereka menyerang sektor perekonomian Indonesia dengan
melakukan mogok kerja oleh (SOBSI) yang merupakan organisasi buruh, pada 23
Juni 1948 yang ternyata juga massa tersebut juga tergabung dalam FDR. Pada masa
pembrontakan ini banyak anggota TNI yang
menjadi korban penculikan.
Keempat,
setelah pemberontakan di Solo yang tidak dapat ditangani secara maksimal oleh
TNI, ternyata berlanjut. Yaitu pemberontakan yang dipimpin oleh Musso, salah
seorang komunis yang telah lama tinggal Uni Sovyet. Banyak pasukan-pasukan
tempur TNI yang ditempatkan dibeberapa titik di Madiun. Pemberontakan yang
terjadi di Madiun pada 18 September 1948, menelan banyak korban terutama TNI.
19 September 1948 kabinet Hatta akhirnya memutuskan untuk menghadapinya dengan
kekuatan senjata, mengingat peristiwa tersebut semakin memanas. Akhirnya, TNI
dapat mengatasi hal tersebut dan pada 31 Oktober 1948, Musso tewas dalam baku
tembak di desa Semanding, Somorota (Ponorogo).
Karena konsentrasi TNI terpecah dengan adanya pemberontakan didalam
negeri, pemerintah juga memikirkan kemungkinan serangan Belanda untuk kedua
kalinya. Hal tersebut juga diperkuat pada pasca perundingan Renville, untuk itu
Anggkatan Perang menyusun konsep pertahanan RI. Adapun konsep yang dianut
adalah Pertahanan Rakyat Semesta, artinya pelaksanaan perang bukan semata-mata
oleh Angkatan Perang atau oleh TNI saja melainkan seluruh rakyat dengan
Angkatan Perang sebagai intinya. Dalam menghadapi kemungkinan Agresi Militer
Belanda II, tugas TNI dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu :
1.
Pasukan Mobil, yang beertugas tempur
dengan perbandingan senjata dan personal 1:1.
2.
Pasukan teritorial yang bertugas
melaksanakan pembinaan teritorial dan perlawanan statis.
3.
Melaksanakan Wingate (menyusup) kedaerah
kekuasaan musuh yang pernah ditinggalkan karena “hijrah”, untuk diisi dengan
kekuatan grilya, untuk menciptakan kanting di daerah tersebut.
Dari sinilah dapat kita
ketahui bahwa peran TNI yang merupakan evolusi dari BKR dan TKR sangat berperan
penting dalam mempertahankan NKRI, hingga Agresi Militer Belanda II dapat
ditangani dengan baik meskipun dalam prosesnya banyak terjadi kekalahan dan
menelan banyak korban. Tetapi peran TNI patut untuk selalu kita ingat karena
tanpa peran besar TNI, Indonesia mungkin tidak mampu untuk menghadapi serangan
baik di dalam maupun di luar negeri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar